SEJARAH ISLAM DI INDONESIA
SEJARAH ISLAM DI INDONESIA
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun
dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama
berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para
utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama
penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang
Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Abu Raihan Al Biruni, Ilmuwan Islam Terbesar Sepanjang Sejarah
Sebagai
seorang ilmuwan besar, Al-Biruni banyak menuliskan
penemuan-penemuannya. Ia telah menulis lebih dari 200 buku tentang hasil
pengamatan dan eksperimennya. Allah Maha Mengetahui, dan tidak
menyukai ketidaktahuan Abad Al-Biruni. Begitulah para sejarawan dunia
menamakan masa keemasan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan Masehi.
Ini menurut catatan sejarah, ia pernah akan diberi penghargaan berupa
ribuan mata uang perak yang dibawa tiga ekor unta oleh Sultan yang
berkuasa saat itu, akan tetapi ia menolak. Menurutnya, ia mengabdi
kepada ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan itu sendiri, bukan demi
uang. Melalui jawabannya tersebut, secara tidak langsung ia mengatakan
bahwa ilmu tidak dapat diukur dengan uang. Ia antusias mencari ilmu
sebanyak-banyaknya hanya karena Allah. Ia sadar, Dalam melakukan
penelitian ilmiah terhadap alam semesta, Al-Biruni memiliki metode yang
khas. Menurutnya, ilmuwan adalah orang yang menggunakan setiap sumber
yang ada dalam bentuk aslinya, kemudian melakukan pekerjaan dengan
penelitian melalui pengamatan langsung dan percobaan. Metode ini
kemudian banyak dijadikan pegangan oleh para ilmuwan selanjutnya. Ia
lahir pada September 973 M di Khawarizm, Turkmenistan. Ia dibesarkan
dalam keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan dan juga taat beragama.
Sayangnya masa kecil Al-Biruni tidak banyak diketahui sejarah seperti
tokoh Islam lainnya. Yang jelas, pria yang bernama lengkap Abu Raihan
Muhammad bin Ahmad Al-Biruni ini sangat gemar belajar sejak kecil.
Beberapa tokoh ulama yang pernah menjadi gurunya sewaktu kecil adalah
Abu Nasr Mansur ibnu Ali ibnu Iraqi, Syekh Abdusshamad bin Abdusshamad,
dan Abu Al-Wafa Al-Buzayani. Berbagai ilmu yang diajarkan kepadanya,
adalah ilmu pasti, Astronomi dan ilmu Kedokteran. Tak mengherankan bila
ia dikenal sebagai ahli di berbagai bidang sejak masa belia. Dengan
bermodalkan penguasaannya terhadap Bahasa Arab, Yunani dan Sansekerta,
Biruni mampu menyerap berbagai ilmu pengetahuan langsung dari sumber
aslinya. Hasilnya berbagai karya di bidang Matematika, fisika,
Astronomi, Kedokteran, Metafisika, Sastra, ilmu Bumi, dan sejarah pun
menambah khasanah ilmu pengetahuan. Bahkan ia juga berhasil menemukan
fenomena rotasi bumi dan bumi mengelilingi matahari setiap harinya.
Dengan tekad mendedikasikan dirinya pada ilmu pengetahuan, Al-Biruni
melakukan penelitian terhadap semua jenis ilmu yang ada. Karenanya,
banyak ahli sejarah yang menganggap ia sebagai ilmuwan terbesar
sepanjang masa. Selain itu, setiap terjun kemasyarakat dan melakukan
penelitian, Al-Biruni sangat mudah menyatu dengan lingkungan. Ia pun
dikenal sebagai sosok yang penuh toleransi. Dalam mencari ilmu, ia
tidak hanya puas berada di satu wilayah. Ia banyak melakukan perjalanan
ke berbagai daerah di Asia Tengah dan Persia bagian utara. Bahkan selama
dalam perjalanannya melanglang buana itu, Al-Birun pernah berada dalam
satu himpunan sarjana muslim lainnya seperti Ibnu Sina di Kurkang,
Khawarizm. Setelah berpisah Al-Biruni dan Ibnu Sina tetap menjalin
hubungan. Mereka terus mengadakan diskusi atau bertukar pikiran mengenai
berbagai gejala alam. Selama perjalanan hidupnya sampai dengan tahun
1048, Al-Biruni banyak menghasilkan karya tulis, tetapi hanya sekitar
200 buku yang dapat diketahui. Diantaranya adalah Tarikh Al-Hindi
(sejarah India) sebagai karya pertama dan terbaik yang pernah ditulis
sarjana muslim tentang India. Kemudian buku Tafhim li awal Al-Sina’atu
Al-Tanjim, yang mengupas tentang ilmu Geometri, Aritmatika dan
Astrologi. Sedangkan khusus Astronomi Al-Biruni menulis buku Al-Qanon
al-Mas’udi fi al-Hai’ah wa al-Nujum (teori tentang perbintangan).
Disamping itu, ia juga menulis tentang pengetahuan umum lainnya seperti
buku Al-Jamahir fi Ma’rifati al-Juwahir (ilmu pertambangan), As-Syadala
fi al-Thib (farmasi dalam ilmu Kedokteran), Al-Maqallid Ilm Al-Hai’ah
(tentang perbintangan) serta kitab Al-Kusuf wa Al-Hunud (kitab tentang
pandangan orang India mengeanai peristiwa gerhana bulan). Itu hanya
sebagian kecil dari buku-buku karya Al-Biruni yang beredar. Selain itu
masih banyak buku lainnya yang dapat dijadikan rujukan. Namun sangat
disayangkan, tidak seperti Ibnu Sina, yang pemikirannya telah merambah
Eropa. Karya-karya besar Al-Biruni tidak begitu berpengaruh di wilayah
barat, karena buku-bukunya baru di terjemahkan ke bahasa-bahasa barat
baru pada abad ke 20. Tur ke India Dari satu tempat ke tempat yang
lain, begitulah perjalanan Al-Biruni. Setelah beberapa lama Al-Biruni
menetap di Jurjan, ia memutuskan kembali ke kampung halamannya, namun
setibanya di sana, ia melihat tempat kelahirannya sedang mengalami
konflik antar Etnis. Keadaan itu dimanfaatkan oleh Sultan Mahmud
Al-Ghezna untuk melakukan invasi dan menaklukkan Jurjan. Keberhasilan
penaklukan ini membawa langkah Al-Biruni, yang memang bekerja untuk
Istana, ke India, bersama Sultan. Di India ia banyak melakukan
penelitian pada berbagai bidang ilmu. Lagi-lagi ia menghasilkan karya
baru, baik itu artikel ilmiah maupun buku. Sang Sultan pun berhasil
membuka kawasan India timur, hal ini dimanfaatkan Al-Biruni untuk
menjadikan tempat tersebut sebagai basis baru dakwahnya. Selain itu ia
juga memanfaatkan waktu untuk memperlajari adat-istiadat dan perlikau
masyarakat setempat. Ia juga memperkenalkan permainan catur ala India ke
negeri-negeri Islam. Ketertarikan Al-Biruni kepada India, terlihat
dari hasil karyanya Tahqiq Al-Hindi, yang memberikan penjelasan tentang
problem-problem Trigonometri lanjutan. Kemudian Sankhya, yang mengupas
asal-usul dan kualitas benda-benda yang memiliki eksistensi. Serta buku
yang berjudul Patanial (Yoga Sutra), yang berhubungan dengan kebebasan
jiwa. Keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada kedua buku India
ini, Al-Biruni memuat secara autentik sejarah akurat invasi Sultan
Mahmoud ke India. Sebagai seorang ilmuwan muslim, segala sesuatu yang
dipelajarinya selalu dikaitkan dengan Al-Qur’an. Ia melandaskan semua
kegiatannya kepada Islam serta meletakkan ilmu pengetahuan sebagai
sarana untuk menyingkap rahasia alam. Semua hasil karyanya bermuara
kepada Allah SWT. Dalam bukunya, Al-Biruni mengatakan, “Penglihatan
menghubungkan apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kekuasaan Allah
dalam ciptaan-Nya. Dari penciptaan alam tersebut kita dapat menyimpulkan
ke Esaan dan ke Agungan Allah.” Itulah yang menjadi prinsip Al-Biruni
selama melakukan penelitian dan percobaan. Ia sama sekali tidak
melepaskan ilmu pengetahuan dari agama. Itu pula sebabnya, ia lebih
hebat dibandingkan ilmuwan lainnya pada saat itu. Penguasaannya terhadap
berbagai ilmu pengetahuan telah menyebabkan ia dijuluki Ustadz fil Ulum
“Guru segala Ilmu.” Kesuksesannya pada bidang Sains dan ilmu
pengetahuan juga membuat banyak orang kagum, termasuk kalangan ilmuwan
barat, salah satunya Max Mayerhoff, “Dia adalah seorang yang paling
menonjol di seluruh Planet Bima sakti dan para ahli terpelajar sejagat,
yang memacu zaman keemasan ilmu pengetahuan Islam.” Pendapat ini di
setujui oleh Sir JN. Sircar seorang sejarawan asal India. Al-Biruni
dengan segala kelebihan yang dimilikinya, telah berjasa memberikan
pemikirannya untuk kita ketahui dan kita pelajari. Buku-bukunya banyak
diterbitkan di Eropa dan tersimpan dengan baik di Musium Escorial,
Spanyol. Al-Biruni wafat dalam usia 75 tahun. Tempat kelahirannya
menjadi pilihan untuk menghabiskan sisa hidup dan menghapuskan nafas
terakhirnya. Allah telah memberikan sebuah hidup yang sangat berarti
bagi Al-Biruni. Ia adalah orang yang benar-benar menggunakan akal dan
pikirannya yang di anugrahkan Allah, untuk melihat tanda-tanda
kebesaran-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berakal, (yaitu) orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring. Dan mereka memikirkan penciptaan langit
dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
Neraka.” (Ali Imran: 190-191).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar